Rabu, 14 Desember 2011

Lelo

“Dummmmmmmmmm  . . . .  dummm . .  dummm”
suara lelo menyayat perihkan hati, itu yang ku rasakan selepas mahgrib itu.
 “Kapan ini akan berakhir ? kenapa pemerintah masih juga belum berusaha untuk menghilangkan suara lelo itu. Suara yang menyakitkan buat para pekerja keras, buat orang kara raya sekalipun, kenapa ?”
Aku bingung entah mau bertanya dengan siapa lagi, tak ada yang mengetahui akhir dari semua ini. Sejak Indonesia mardeka sampai detik ini tak ku temukan kemerdekaan itu. Budaya apa yang seperti ini, yang hanya menyesatkan semua, mereka petinggi yang hanya memikirkan kebahagianya saja.
“Ini sudah lebih dari kebahagiaan hidup yang kalian dapatkan dari kemerdekaan” celoteh salah seorang  pekerja sipil dikampungku.
“Tapi kapan suara lelo itu hilang? kapan ?”
Tanya ayahku kepadanya dengan nada meninggi, aku begitu bangga dengan ayah yang mempunyai kepribadian beda dengan orng lain, beliau yang sakit-sakitan setelah peperangan itu berakhir masih tetap disegani oleh masyarakat karna ilmu dan wawasannya yang luas.
Aku masih ingat bagaimana kronologis ayah menghilang dari kampung untuk menghindari orang-orang Jepang  yang ingin menangkap beliau. Hutan yang suudah dikepung tak bisa lagi dijadikan tempat berlindung. Dengan idenya yang berlian, beliau menyelam sungai, dan luar biasanya ayah sanggup menyelam sehari semalam. Bukan dia takut dengan orang Jepang, tapi yang ada difikirannya saat itu bagaiman malam ini dia lolos dan untuk selanjutnya mereka lenyap. Itulah pesan yang tersirat dai sikap-sikap ayah. Namun sekarang, ayah mulai sakit-sakitan, lelo itu masih juga mengeluarkan suaranya.
“Pergilah kehutan,bawa karung uang itu dan tanam uang-uang itu wan ! “ ku dengar suara ayah samara-samar dari balik bilik rumah ku, berikan pekerjaan yang membosankan untukku subuh itu, tapi aku masih tetap sibuk dengan ubi-ubi yang harus kukupas kulitnya untuk dijadikan tapai dan kerupuk pedas, pekerjaan wajibku setelah pulang dari surau untuk shalat subuh.
“Pergilah wan gadis sebelum hari  naik, dan kamu pun harus merandai untuk sekolah nanti karna rakit tak akan ada satu masa ini ! perintahnya lagi.
Ku beranjak dengan memelas, bukan karna melawan dengan ayah tapi benci dengan suara lelo semalam. Ingin rasanya ku menghancurkan lelo itu supaya tak menghabiskan tenaga hanya umtuk membuang uang-uang yang setiap hari dicari ini.
“Mak cik, mau kemana ? “
“Disinin lah, nak membuang uang, sudah letih dicari dibuang juga.
“Iya mak cik, aku pun letih mengubak ubi tapi hasilnya dibuang, pemerintah tak tau adat, tak tau tradisi. Pandai bebual aja tapi perbuatan lebih dari awak yang tak sekolah tinggi ini.
“Sudah, mudah-mudahan suara lelo nan merdu bak cakap orang petinggi itu hilang dari telinga dan pengenang awak”
“Iya, betul tu mak cik, aku nak naik kerumah lagi. Selesaikan kerjaan tadi.”
Setelah menimbun uang-uang itu akupun masuk kerumah untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai, hari beranjak semakin tinggi. kalau suara lelo berbuyi. Aku akan telat kesekolah karna tak akan ada rakit yang menyebriku.
Sepulang dari sekolah aku pun pergi keladang untuk membantu emak yang hari itu menanam ubi yang baru, karna kemaren telah dipanen.
“Wan gadis, hari ini kita rebus saja ubi ini dan untuk gulainya kita gulai kudur yang ada dibelakang rumah”
“Oje mak, itu sama saja dengan waktu kita perang kemaren”
“Sudahlah wan, salah mak mu ini tak mau kepasar kemaren siang”
Lagi-lagi emak tetap saja menyalahkan dirinya tiap kali lelo berbunyi dan uang ditanam dan dibuang. Aku begitu emosi sampai-sampai tanah yang ku gali untuk menanam pokok ubi sudah dalam dan emak tertawa melihat tingkahku.
“Oje Wan, sampai kapan kamu tak marah-marah sama pemerintah itu, jangan salahkan pemerintah, bukan mereka yang mengatur kita. Allah sudah letakkan reski kita masing-masing Wan.”
“Iya, tapi kenapa kita harus mengikut hal yang bodoh seperti itu mak, harusnya kita juga bisa bersikap tegas mak “
“Tanam sajalah ubi tu, selesai itu bulan depan keluar uang baru lagi kita panen dan bisa makan enak lagikan wan ? “ emak ku tak pernah mau tau dengan masalah yang buat masyarakat resah itu.
Malam hari tapat jum’at malam dimana kami para gadis-gadis kampung juga bujangan kumpul dirumah tinggi, rumah tempat kami bermain dengan alat-alat yang terbauat dari bambu yang disebut gerogong juga yang terbuat dari kulit-kulit lembu, kami bersandi bersyarak.
Kami bermain, bersenda gurau, dengan  celoteh-celoteh tentang kak inang yang gila karna lelo,karna uang Jepang. Ah, tak jauh-jauh dari lelo. Aku pun pulang, dengan waktu yang tak seperti biasanya.
Emak masih didapur, masih meletakkan tapai diatas anjok dapur yang berdebu itu. Ku masuki kamarku, fikiranku kembali pada uang yang kutanam tadi, betapa bodohnya msyarakat Indonesia, mengikut bak kerbau yang dicocokkan hidungnya, apa yang dibuat oleh Jepang, itulah yang diikut, padahal Negara sudah mardeka, aku bingung, benar-benar bingung.
Hatiku bergejolak hebat, diselah jendela ku lihat purnama begitu indah, dikelilingi oleh debu-debu, tampak kuning, tapi ada juga seperti warna keabu-abuan, tersentak aku ingat apa yang pernah dikatakan ayah, kalau purnama itu tak selamanya berwarna kuning, dan semua orang terpesona dengan indahnya purnama padahal nun jauh disana asli dari keindahanya dalah dengkuran-dengkuran semacam bukit barisan.
“Bruuuuuuuuuuuuuuuuk . . . aku terjatuh dari tempat tidur ?” ah, ternyata aku tlah bermimpi. Dari luar terdengar suara emak yang memanggilku untuk kesurau.
“Wan, duduk-duduk, sudah subuh”
“Iya mak, aku sudah bangun  mak” selepas ku menjawab, suara emak sudah lenyap bersamaan dengan suara ayah yang mengikuti langkah uwakku untuk kesurau.
Aku melangkah dengan kencang, aku berharap sampai kesurau muazin belum iqamat, namun ternyata aku harus karna jarak rumahku dengan surau cukup jauh karana belum ada jalan yang bisa dilewati tampa mengibas-ngibas ilalang ataupun pohon-pohon kecil yang mengganggu langkah ku.
Selepas shubuhan, aku mengikuti langkah ayah dari belakang, beliau sedang berbincang dengan mamak wahab tatangga ku yang kaya raya. Ku dengar penyesalannya yang begitu menyedihkan pasal uang-uang yang harus dia buang.
Ternyata sebulan yang lalu mamak wahab berniat membeli getah dan untuk mendapatkannya harus melalui orang Cina, Kong Ahki namanya. Dia yang akan menanyakan ke Dumai atau ke Duri waktu itu pasal getah yang murah.
Tapi karna transportasi tak memungkinkan Kong Akhi baru tiba dikampungku tepat malam jum’at kemaren.tepat malam lelo dibunyikan, dia menangis menceritakannya kepada ayahku, emak tak berkomentar seperti beliau berkomentar denganku siang itu, tapi ayah berkata
“ Belum reski kita dik wahab, jadi cobalah bersabar. Ada masanya kita dapatkan kemerdekaan dari kebiasaan lelo itu.”
“Iya udo, tapi kasian, dibuang begitu saja. Padahal udo tau macam mana susah kita mencarinya.”
Percakapan mereka hanya sampai disitu karna kami dengan mamak wahab beda arah rumah, lalu ku lihat wajah ayah dengan cahaya dari suluh, ternyata begitu mengharapakan berakhirnya kepedihan demi kepedihan.
Dua tahun berlau, lelo tetap menjadi tradisi alam di Indonesia tercinta, siang itu sepulang emak dari pasar saat menaiki rakit, emak mendengarkan percakapan  orang yang membawa rakit dengan salah seorang penumpangnya
“ Mendapat betul hari ini, pasar senin ramai, orang yang mau berlabuh, menyebrang hulu pun tak putus.”
“Tapi jangan senang dulu, kalau pakcik tak habiskan uang pak cik siang ini bisa-bisa menangis pakcik dirumah nanti”
“Kenapa gitu, lelo mau di bunyikan ?”
“Iya pak cik, ku dengar dari kawan yang di Dumai itu bulan rajab ini waktu penuh bulan, lelo akan dibunyikan, uang yang beredar tidak akan berlaku lagi, uang baru akan muncul satu bulan kedepan. Seperti tahun-tahun sesudahnya. “
“Ini sudah habis zduhurlah, oje, sebentar lagi tutup pasar lagi”
“Elok lah pak cik, sesudah ini pakcik kepasar.”
“Nak, terima kasih ngeh pasal bual anak itu”
Laki-laki bujang itu tak menyahut lagi, diam membisu sampai rakit berlabuh dibibir sungai batang lubuh,emak tetap diam didalam meminta untuk diantarkan kepasar kebali untuk membeli kain katanya.
Sesampainya di pasar emak mengambil kain apa saja, dan membeli beras dengan  uang yang tersisa dan dan uang lima puluh piah disisakannya untuk ongkos rakit, tampa berfikir apakah benar akan dibunyikannya lelo dan uang-uang yang ada tak berlaku lagi sebelum unag yang baru muncul lagi oleh produksi Jepang itu.
Sesampainya dirumah, ayah menanyakan pasal emak membeli kain sampai sebanyak itu
“ Tadi waktu adik kepasar, adik dengar nanti malam lelo akan dibunyikan ba’, adik Cuma tak nak aja uang ini terus-terusan hilang begitu saja sebab itu adik membelikan kain-kain ini karna kita juga kekurangna kain untuk berselimut pun jadi.”
“Aba’ tak tau kabar “
“Kita Cuma bersiap ba”
Ku dengar percakapan itu sambil dengar langkah emak kedapur, karna rumah ku yang berpanggung dan terbuat dari papan-papan kayu itu akan berbuyi kalau dininjak, aku bergegas keluar dari kamar dan menuju emak untuk membantunya memasak.
Kubakar kayu untuk membuat baranya, karna menu kami siang ini ikan bakar sambal macang. Entah kenapa perasaanku begitu senang, tak gelisah seperti sebelumnya, jika tau kalau lepas mahgrib akan dibunyikan suara maryam buatan jepang itu.
“ Wan, sudah menjadi baranya ?”
“Sudah mak “ jawaban yang tepat menurutku tampa komentar apa-apa aku pun membakar ikan yang telah dibumbui emak.
“Tak biasanya kerjamu bagus wan, hari menjelang lelo dibunyikan”
“Itulah mak, aku merasa ada yang beda tapi entah apa”
“Kenapa wan bisa tak tau, apa pasal lelo tak akan dibunyikan malam ini ?”
“Tak juga, pasti dibunyikan, entahlah mak”
Aku sudahi percakapanku karna akaupun tak mrengetahui apa yang akan terjadi,ikan yang kupanggang sudah mulai matang karna aromanya sudah tercium. Begitu juga dengan sambal macang yang digiling emak, sambal yang kancahnya hanya cabe dan  macang  yang sudah digiling saja. Setelah ku hidangkan diatas tikar, ku panggil ayah yang sedang duduk diserembi depan
“ Yah, kata emak kita makan siang, sudah ku hidangkan”
“O, yalah wan gadis, ayah masuk”
Aku dan ayah jalan beriring menuju ruang tengah, sebenarnya bukan waktu makan siang lagi tapi sore, karna waktu sudah menunjukkan banyang lebih panjang dari kita. Tapi itulah keluargaku, baik itu ayah maupun emak tak pernah cek-cok pasal masak telat atau pulang pasar tampa makanan penutup, tak seperti suami istri pada umumunya, yang mesti bertengkar depan anak-anaknya hanya karena masalah perut.
Emak dan ayah sudah saling memahami posisi masing-masing, ayah yang sudah tak dapat bekerja keras semacam berladang, dan harus digantikan deengan emak,tapi ayah tetap bertanggung jawab sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah dengan cara menjadi guru tulis baca,dengan bayaran suka rela saja.
“Sedapnya makan, Alhamdulillah”
“Wan gadis  kita yang memasaknya dik”
“Tak lah yah, emak yang meracik bumbunya.ku sangkah cakap ayah sebelum emak terlebih dahulu menjawabnya
“Iyalah, kalian memang perempuan ayah.”
Aku tersenyum bangga sekaligus haru, tak jarang ayah memujiku juga emak, tak terasa keringat ku bercucuran, hal yang sama juga terlihat pada ayah juga emak. Pedas tapi lezat, mmmmm . . . . aaah. Aku menggulung tikar dan meletakkannya ketempat semula sambil mengantah sisa-sisa ikan yang masih ada ditulangnya.
Terdengar suara ayah dari bawah, memanggil emak yang sedang menimba air di perigi.
“Dik, aba’ berangkat kesurau duluan. Kalian baik-baik dijalan kesurau nanti.” Kudengar ibu menyahut dari belakang dengan nada yang sedikit keras
“Iya ba’ hati-hati dijalan”
“Assalamualaikaum  . . . ”
“Walaikumsalam warahmatullah  . . . “
Setelah ayah pergi, aku mendatangi emak dan bertanya pasal lelo nanti malam ba’da magrib. Namun emak tak berkomentar apa-apa. Aku hanya termenung, berharap itu tak akan terjadi. Terkadang  aku sedih, kadang juga tertawa, karna setiap kali lelo dibunyikan uang-uang masyarakat kampungku pasti dibuang macam sampah daun rambutan yang sudah gugur, terkadang juga dihanyutkan kesungai sampai-sampai sungai macam tempat pembuangan limbah saja. Itu sebenarnya yang buat aku benci dengan suara itu.
Hari semakin beranjak petang, dan akhirnya waktu magrib masuk, ibu memilih untuk shalat di rumah saja karna hari ini emak terlalu lelah. Setelah shalat dan mengaji, tedengarlah dentuman lelo itu sebanyak tiga kali, tapi yang buat aku tak menjauhkan pendengaranku dari radio kecil milik ayah karna ku dengarkan seseorang berkata disana
“Malam ini tidak akan lagi berlaku uang buatan Jepang yang ada dirumah-rumah anda tapi bukan untuk diganti dengan buatan Jepang kembali dengan menunggu selama satu sampai dua bulan, uang kita akan dibuat oleh Bank Indonesia sekalipun ada perubahan bentuk uang anda tidak dibolehkan untuk membuangnya, karna itu dapat digunakan, itulah kebijakan yang diambil oleh presiden soekarno. Sekian, terimakasih”
Ah, aku merasa telingaku yang sumbat dengan suara lelo yang membanyang-baayangiku selama ini akhirnya dibersihkan juga dengan kebjakan petinggi-petinggi itu. Terimakasih ya allah, engkau telah kabulkan do’a hambamu yang menginginkan akhir dari skenario lelo dan pemerintah itu.