“Dummmmmmmmmm . . . . dummm . . dummm”
suara lelo menyayat perihkan hati, itu yang ku rasakan selepas mahgrib itu.
“Kapan
ini akan berakhir ? kenapa pemerintah masih juga belum berusaha untuk
menghilangkan suara lelo itu. Suara yang menyakitkan buat para pekerja
keras, buat orang kara raya sekalipun, kenapa ?”
Aku bingung entah mau bertanya dengan siapa lagi, tak ada yang mengetahui akhir dari semua ini. Sejak Indonesia
mardeka sampai detik ini tak ku temukan kemerdekaan itu. Budaya apa
yang seperti ini, yang hanya menyesatkan semua, mereka petinggi yang
hanya memikirkan kebahagianya saja.
“Ini sudah lebih dari kebahagiaan hidup yang kalian dapatkan dari kemerdekaan” celoteh salah seorang pekerja sipil dikampungku.
“Tapi kapan suara lelo itu hilang? kapan ?”
Tanya
ayahku kepadanya dengan nada meninggi, aku begitu bangga dengan ayah
yang mempunyai kepribadian beda dengan orng lain, beliau yang
sakit-sakitan setelah peperangan itu berakhir masih tetap disegani oleh
masyarakat karna ilmu dan wawasannya yang luas.
Aku masih ingat bagaimana kronologis ayah menghilang dari kampung untuk menghindari orang-orang Jepang yang
ingin menangkap beliau. Hutan yang suudah dikepung tak bisa lagi
dijadikan tempat berlindung. Dengan idenya yang berlian, beliau menyelam
sungai, dan luar biasanya ayah sanggup menyelam sehari semalam. Bukan
dia takut dengan orang Jepang, tapi yang ada difikirannya saat itu
bagaiman malam ini dia lolos dan untuk selanjutnya mereka lenyap. Itulah
pesan yang tersirat dai sikap-sikap ayah. Namun sekarang, ayah mulai
sakit-sakitan, lelo itu masih juga mengeluarkan suaranya.
“Pergilah
kehutan,bawa karung uang itu dan tanam uang-uang itu wan ! “ ku dengar
suara ayah samara-samar dari balik bilik rumah ku, berikan pekerjaan
yang membosankan untukku subuh itu, tapi aku masih tetap sibuk dengan
ubi-ubi yang harus kukupas kulitnya untuk dijadikan tapai dan kerupuk
pedas, pekerjaan wajibku setelah pulang dari surau untuk shalat subuh.
“Pergilah wan gadis sebelum hari naik, dan kamu pun harus merandai untuk sekolah nanti karna rakit tak akan ada satu masa ini ! perintahnya lagi.
Ku
beranjak dengan memelas, bukan karna melawan dengan ayah tapi benci
dengan suara lelo semalam. Ingin rasanya ku menghancurkan lelo itu
supaya tak menghabiskan tenaga hanya umtuk membuang uang-uang yang
setiap hari dicari ini.
“Mak cik, mau kemana ? “
“Disinin lah, nak membuang uang, sudah letih dicari dibuang juga.
“Iya
mak cik, aku pun letih mengubak ubi tapi hasilnya dibuang, pemerintah
tak tau adat, tak tau tradisi. Pandai bebual aja tapi perbuatan lebih
dari awak yang tak sekolah tinggi ini.
“Sudah, mudah-mudahan suara lelo nan merdu bak cakap orang petinggi itu hilang dari telinga dan pengenang awak”
“Iya, betul tu mak cik, aku nak naik kerumah lagi. Selesaikan kerjaan tadi.”
Setelah
menimbun uang-uang itu akupun masuk kerumah untuk melanjutkan pekerjaan
yang belum selesai, hari beranjak semakin tinggi. kalau suara lelo
berbuyi. Aku akan telat kesekolah karna tak akan ada rakit yang
menyebriku.
Sepulang
dari sekolah aku pun pergi keladang untuk membantu emak yang hari itu
menanam ubi yang baru, karna kemaren telah dipanen.
“Wan gadis, hari ini kita rebus saja ubi ini dan untuk gulainya kita gulai kudur yang ada dibelakang rumah”
“Oje mak, itu sama saja dengan waktu kita perang kemaren”
“Sudahlah wan, salah mak mu ini tak mau kepasar kemaren siang”
Lagi-lagi
emak tetap saja menyalahkan dirinya tiap kali lelo berbunyi dan uang
ditanam dan dibuang. Aku begitu emosi sampai-sampai tanah yang ku gali
untuk menanam pokok ubi sudah dalam dan emak tertawa melihat tingkahku.
“Oje
Wan, sampai kapan kamu tak marah-marah sama pemerintah itu, jangan
salahkan pemerintah, bukan mereka yang mengatur kita. Allah sudah
letakkan reski kita masing-masing Wan.”
“Iya, tapi kenapa kita harus mengikut hal yang bodoh seperti itu mak, harusnya kita juga bisa bersikap tegas mak “
“Tanam
sajalah ubi tu, selesai itu bulan depan keluar uang baru lagi kita
panen dan bisa makan enak lagikan wan ? “ emak ku tak pernah mau tau
dengan masalah yang buat masyarakat resah itu.
Malam
hari tapat jum’at malam dimana kami para gadis-gadis kampung juga
bujangan kumpul dirumah tinggi, rumah tempat kami bermain dengan
alat-alat yang terbauat dari bambu yang disebut gerogong juga yang
terbuat dari kulit-kulit lembu, kami bersandi bersyarak.
Kami bermain, bersenda gurau, dengan celoteh-celoteh
tentang kak inang yang gila karna lelo,karna uang Jepang. Ah, tak
jauh-jauh dari lelo. Aku pun pulang, dengan waktu yang tak seperti
biasanya.
Emak
masih didapur, masih meletakkan tapai diatas anjok dapur yang berdebu
itu. Ku masuki kamarku, fikiranku kembali pada uang yang kutanam tadi,
betapa bodohnya msyarakat Indonesia, mengikut bak kerbau yang dicocokkan
hidungnya, apa yang dibuat oleh Jepang, itulah yang diikut, padahal
Negara sudah mardeka, aku bingung, benar-benar bingung.
Hatiku
bergejolak hebat, diselah jendela ku lihat purnama begitu indah,
dikelilingi oleh debu-debu, tampak kuning, tapi ada juga seperti warna
keabu-abuan, tersentak aku ingat apa yang pernah dikatakan ayah, kalau
purnama itu tak selamanya berwarna kuning, dan semua orang terpesona
dengan indahnya purnama padahal nun jauh disana asli dari keindahanya
dalah dengkuran-dengkuran semacam bukit barisan.
“Bruuuuuuuuuuuuuuuuk
. . . aku terjatuh dari tempat tidur ?” ah, ternyata aku tlah bermimpi.
Dari luar terdengar suara emak yang memanggilku untuk kesurau.
“Wan, duduk-duduk, sudah subuh”
“Iya mak, aku sudah bangun mak” selepas ku menjawab, suara emak sudah lenyap bersamaan dengan suara ayah yang mengikuti langkah uwakku untuk kesurau.
Aku
melangkah dengan kencang, aku berharap sampai kesurau muazin belum
iqamat, namun ternyata aku harus karna jarak rumahku dengan surau cukup
jauh karana belum ada jalan yang bisa dilewati tampa mengibas-ngibas
ilalang ataupun pohon-pohon kecil yang mengganggu langkah ku.
Selepas
shubuhan, aku mengikuti langkah ayah dari belakang, beliau sedang
berbincang dengan mamak wahab tatangga ku yang kaya raya. Ku dengar
penyesalannya yang begitu menyedihkan pasal uang-uang yang harus dia
buang.
Ternyata
sebulan yang lalu mamak wahab berniat membeli getah dan untuk
mendapatkannya harus melalui orang Cina, Kong Ahki namanya. Dia yang
akan menanyakan ke Dumai atau ke Duri waktu itu pasal getah yang murah.
Tapi
karna transportasi tak memungkinkan Kong Akhi baru tiba dikampungku
tepat malam jum’at kemaren.tepat malam lelo dibunyikan, dia menangis
menceritakannya kepada ayahku, emak tak berkomentar seperti beliau
berkomentar denganku siang itu, tapi ayah berkata
“ Belum reski kita dik wahab, jadi cobalah bersabar. Ada masanya kita dapatkan kemerdekaan dari kebiasaan lelo itu.”
“Iya udo, tapi kasian, dibuang begitu saja. Padahal udo tau macam mana susah kita mencarinya.”
Percakapan
mereka hanya sampai disitu karna kami dengan mamak wahab beda arah
rumah, lalu ku lihat wajah ayah dengan cahaya dari suluh, ternyata
begitu mengharapakan berakhirnya kepedihan demi kepedihan.
Dua
tahun berlau, lelo tetap menjadi tradisi alam di Indonesia tercinta,
siang itu sepulang emak dari pasar saat menaiki rakit, emak mendengarkan
percakapan orang yang membawa rakit dengan salah seorang penumpangnya
“ Mendapat betul hari ini, pasar senin ramai, orang yang mau berlabuh, menyebrang hulu pun tak putus.”
“Tapi jangan senang dulu, kalau pakcik tak habiskan uang pak cik siang ini bisa-bisa menangis pakcik dirumah nanti”
“Kenapa gitu, lelo mau di bunyikan ?”
“Iya
pak cik, ku dengar dari kawan yang di Dumai itu bulan rajab ini waktu
penuh bulan, lelo akan dibunyikan, uang yang beredar tidak akan berlaku
lagi, uang baru akan muncul satu bulan kedepan. Seperti tahun-tahun
sesudahnya. “
“Ini sudah habis zduhurlah, oje, sebentar lagi tutup pasar lagi”
“Elok lah pak cik, sesudah ini pakcik kepasar.”
“Nak, terima kasih ngeh pasal bual anak itu”
Laki-laki
bujang itu tak menyahut lagi, diam membisu sampai rakit berlabuh
dibibir sungai batang lubuh,emak tetap diam didalam meminta untuk
diantarkan kepasar kebali untuk membeli kain katanya.
Sesampainya di pasar emak mengambil kain apa saja, dan membeli beras dengan uang yang tersisa dan dan uang lima puluh piah disisakannya untuk ongkos rakit, tampa
berfikir apakah benar akan dibunyikannya lelo dan uang-uang yang ada
tak berlaku lagi sebelum unag yang baru muncul lagi oleh produksi Jepang
itu.
Sesampainya dirumah, ayah menanyakan pasal emak membeli kain sampai sebanyak itu
“
Tadi waktu adik kepasar, adik dengar nanti malam lelo akan dibunyikan
ba’, adik Cuma tak nak aja uang ini terus-terusan hilang begitu saja
sebab itu adik membelikan kain-kain ini karna kita juga kekurangna kain
untuk berselimut pun jadi.”
“Aba’ tak tau kabar “
“Kita Cuma bersiap ba”
Ku
dengar percakapan itu sambil dengar langkah emak kedapur, karna rumah
ku yang berpanggung dan terbuat dari papan-papan kayu itu akan berbuyi
kalau dininjak, aku bergegas keluar dari kamar dan menuju emak untuk
membantunya memasak.
Kubakar
kayu untuk membuat baranya, karna menu kami siang ini ikan bakar sambal
macang. Entah kenapa perasaanku begitu senang, tak gelisah seperti
sebelumnya, jika tau kalau lepas mahgrib akan dibunyikan suara maryam
buatan jepang itu.
“ Wan, sudah menjadi baranya ?”
“Sudah mak “ jawaban yang tepat menurutku tampa komentar apa-apa aku pun membakar ikan yang telah dibumbui emak.
“Tak biasanya kerjamu bagus wan, hari menjelang lelo dibunyikan”
“Itulah mak, aku merasa ada yang beda tapi entah apa”
“Kenapa wan bisa tak tau, apa pasal lelo tak akan dibunyikan malam ini ?”
“Tak juga, pasti dibunyikan, entahlah mak”
Aku
sudahi percakapanku karna akaupun tak mrengetahui apa yang akan
terjadi,ikan yang kupanggang sudah mulai matang karna aromanya sudah
tercium. Begitu juga dengan sambal macang yang digiling emak, sambal
yang kancahnya hanya cabe dan macang yang sudah digiling saja. Setelah ku hidangkan diatas tikar, ku panggil ayah yang sedang duduk diserembi depan
“ Yah, kata emak kita makan siang, sudah ku hidangkan”
“O, yalah wan gadis, ayah masuk”
Aku
dan ayah jalan beriring menuju ruang tengah, sebenarnya bukan waktu
makan siang lagi tapi sore, karna waktu sudah menunjukkan banyang lebih
panjang dari kita. Tapi itulah keluargaku, baik itu ayah maupun emak tak
pernah cek-cok pasal masak telat atau pulang pasar tampa makanan penutup, tak seperti suami istri pada umumunya, yang mesti bertengkar depan anak-anaknya hanya karena masalah perut.
Emak
dan ayah sudah saling memahami posisi masing-masing, ayah yang sudah
tak dapat bekerja keras semacam berladang, dan harus digantikan deengan
emak,tapi ayah tetap bertanggung jawab sebagai kepala keluarga yang
mencari nafkah dengan cara menjadi guru tulis baca,dengan bayaran suka
rela saja.
“Sedapnya makan, Alhamdulillah”
“Wan gadis kita yang memasaknya dik”
“Tak lah yah, emak yang meracik bumbunya.ku sangkah cakap ayah sebelum emak terlebih dahulu menjawabnya
“Iyalah, kalian memang perempuan ayah.”
Aku
tersenyum bangga sekaligus haru, tak jarang ayah memujiku juga emak,
tak terasa keringat ku bercucuran, hal yang sama juga terlihat pada ayah
juga emak. Pedas tapi lezat, mmmmm . . . . aaah. Aku menggulung tikar
dan meletakkannya ketempat semula sambil mengantah sisa-sisa ikan yang
masih ada ditulangnya.
Terdengar suara ayah dari bawah, memanggil emak yang sedang menimba air di perigi.
“Dik,
aba’ berangkat kesurau duluan. Kalian baik-baik dijalan kesurau nanti.”
Kudengar ibu menyahut dari belakang dengan nada yang sedikit keras
“Iya ba’ hati-hati dijalan”
“Assalamualaikaum . . . ”
“Walaikumsalam warahmatullah . . . “
Setelah
ayah pergi, aku mendatangi emak dan bertanya pasal lelo nanti malam
ba’da magrib. Namun emak tak berkomentar apa-apa. Aku hanya termenung,
berharap itu tak akan terjadi. Terkadang aku
sedih, kadang juga tertawa, karna setiap kali lelo dibunyikan uang-uang
masyarakat kampungku pasti dibuang macam sampah daun rambutan yang
sudah gugur, terkadang juga dihanyutkan kesungai sampai-sampai sungai
macam tempat pembuangan limbah saja. Itu sebenarnya yang buat aku benci
dengan suara itu.
Hari
semakin beranjak petang, dan akhirnya waktu magrib masuk, ibu memilih
untuk shalat di rumah saja karna hari ini emak terlalu lelah. Setelah
shalat dan mengaji, tedengarlah dentuman lelo itu sebanyak tiga kali,
tapi yang buat aku tak menjauhkan pendengaranku dari radio kecil milik
ayah karna ku dengarkan seseorang berkata disana
“Malam
ini tidak akan lagi berlaku uang buatan Jepang yang ada dirumah-rumah
anda tapi bukan untuk diganti dengan buatan Jepang kembali dengan
menunggu selama satu sampai dua bulan, uang kita akan dibuat oleh Bank
Indonesia sekalipun ada perubahan bentuk uang anda tidak dibolehkan
untuk membuangnya, karna itu dapat digunakan, itulah kebijakan yang
diambil oleh presiden soekarno. Sekian, terimakasih”
Ah,
aku merasa telingaku yang sumbat dengan suara lelo yang
membanyang-baayangiku selama ini akhirnya dibersihkan juga dengan
kebjakan petinggi-petinggi itu. Terimakasih ya allah, engkau telah
kabulkan do’a hambamu yang menginginkan akhir dari skenario lelo dan
pemerintah itu.