Teringat masa ayah mengadakan acara syukuran suku Melayu
tepatnya pada tahun 2006 masa itu. Ayah sempat mengecam puak-puak melayu
terutama sekali kepada anak-anaknya sendiri yang telah menikah.
Fenomena pertama: yang terjadi
belakangan ini yaitu maraknya penggantian nama
belakang (ayah) dengan
nama suami, padahal jelas-jelas suami dia bukan mukhrimnya, lalu dia mengganti
nama mukhrim(ayah) dengan nama suaminya secara tidak langsung, suaminya adalah
ayahnya...
Misal : Zunnurul Laila Ahmad lalu ketika menikah diganti menjadi Zunnurul
Laila Fulan...
Fenomena kedua : maraknya orang yang
telah memiliki istri/suami memanggil
sebutan masing-masing layaknya memanggil ayah/ibu mereka...
Misal : suami memanggil istri dengan
umi dan istri memanggil suami dengan abi...
Secara tidak langsung mereka memanggil orang tuanya,
dalam artian suami/istri masing-masing adalah
ayah/ibu mereka....padahal nabi tidak pernah memanggil istri-istrinya
demikian...alangkah sebaiknya istri dipanggil dinda, adik, adek, dan sebagainya...begitupun
kepda suami dipanggil abang, kakak, Aa... Dan sebagainya.
Apakah kita tidak pernah berfikir kalau kita memanggil suami
dengan abi artinya kita memanggil ayah dan begitu pula sebaliknya ? Cukup dijawab
dalam hati dan diubah dengan tindakan nyata...mari berbenah, kalau hal kecil seperti
ini saja kita pertahankan bagaimana dengan hal yang besar ? berbeda halnya ketika seorang istri/suami memanggil pasangan
masing-masing di depan anak mereka yang masih umur produktif, yang harus dibiasakan
dengan panggilan-panggilan tersebut karena anak diumur produktif umumnya akan
mengikuti atau meniru orang-orang di sekelilingnya...lalu ketika anak sudah
paham makna (semantik) kata,kalimat ataupun wacana...saya kira harus dirubah ya
kebiasaan sebelumnya.
Lalu ada pendapat yang menyatakan :
1.
lah panggilan tersebut juga karena sudah sah ikatan
pernikahannya.,
2.
karena kalo saling memanggil dengan kata abi-umi
kelihatannya lebih romantis daripada harus memanggil dengan sebutan nama
masing2.
3.
hm itu hanya bahasa saja, ga usah terlalu diributin yg
penting perannya
4.
dengan memanggil ummi dan abi juga kan tidak merubah
status jadi ayah dan ibu kan? jadi klo menurut ana sah2 aja selama itu baik dan
disukai pasangan kita kenapa tidak? masih banyak hal besar yang harus
difikirkan kok dari in
5.
hanya sementara untuk membeiasakan anak dengan panggilan
itu
saya
menanggapi beberapa pendapat :
Tanggapan : 1. Memang sah ikatan pernikahannya hanya saja, makna dari panggilan itu yang
saya kaji, kata ABI itukan bermkna AYAH...lalu apakah kita, misalnya
saya , memanggil suami saya ayah,sedangkan dia suami saya,bukan ayah saya..atau
misal suami saya memanggil
saya dengan sebutan ibu, sayakan istri dia bukan ibu dia...apakah tidak ada
rasa canggung ketika panggilan itu disematkan ? Sebab ketika anak saya misalnya
memanggil ayahnya dengan ayah, lalu saya pun memanggil suami saya dangan ayah,
berarti posisi saya sama denga anak saya sebagai "anak".. mungkin
sahabat tidak merasakan begitu ekstrimnya makna karena sahabat memanggil dengan
sebutan abi dan umi, lalu coba diganti dengan panggilan ayah dan ibu..pasti
akan terasa efek yang ektrim di saat anda memanggil pasangan anda.
2. saya tidak pernah menyarankan untuk
memanggil pasangan dengan nama
masing-masing, namun yang saya sarankan panggillah dengan dengan adik, adek,
dinda...atau panggil istri dengan jannah, bidadariku atau panggil suami dengan saiful qalbi,
pangeranku...menurut saya itu lebih romantis ...seperti Nabi Muhammad yang
memanggil Aisyah dengan Humairah...
3. itu memang nyalah bahasa saja, lewat bahasalah
kita tahu budi pekerti...lewat bahsa kejiwaan orang tergambarkan, lewat bahasa
kita tahu karakter orang.
4. memang tidak merubah status kita
sebagai ayah dan ibu, namun tidakkah kita pernah berfikir bahwa secara tidak
langsung kita telah salah menggunakan bahasa ? bagi saya yang bergelut dalam
bidang kajian bahasa ini adalah masalah yang besar yang tengah dihadapi bangsa.
Lewat bahasalah Umar bin khatab mampu luluh, lewat lantunan bahasalah bung
Karno dikenal dunia. Lewat bahasa pulalah Ederogan disegani lawan dan
disahabati kawan bukan ?
5.
di sinilah peran orang tua sangat dipentingkan, apakah kita sebgai orang tua
tidak mampu memberikan pemahaman kepada anak ? apakaah kita tidak bisa
memberikan pengajaran kepada anak tentang panggilan-panggilan. Anak akan paham
ketika kita sebagai orang tua mengajarinya. Di sinilah nantilah terlihat peran
orang tua itu, apakah dia benar-benar telah menjadi ayah ? atau benar-benar
menjadi ibu.
Dari berbagai jawabn yang saya dapatkan...saya kembali memperoleh
pertanyaan yang baru...
para mitra tutur saya menjawab..
"kan itu hnya pnggiln, rsanya lebih romantis...trlpas
dripda mknanya"... (ketika istri/suami memanggil psngn mrka dg pnggiln
abi/umi, mama/papa, ayah/ibu)
Pertanyaannya : lalu bagaimana jika anak anda memanggil
anda kakak/dedek ? Mereka baranggap ini kan hanya panggilan yang menurut sang
anak lebih terhormat, terlepas dari maknanya seperti yang anda jawab pada
pertanyaan sebelumnya bahwasannya anda berkata ini hanya panggilan terlepas
dari makna.
Nah lo ? ^_^
Cacatan
: 1. Abi berasal dari kata abu, abu'u dan
aba' yang berarti (bapak/ayah)
2. Umi asal katanya ummu dan ummahata yang berarti (ibu,
bunda)
3. kata muhrim dn mahram Depdiknas (KBBI:852) menyatakan orang yang termasuk sanak saudara dekat karena
keturunan,susuan, sehingga tidak boleh menikah diantaranya.
(kedua kata sama)
4. Pertanyaan ini berawal dari pidato
ayahnda (alm) H. Ahmad Nasri bin Abdul Wahab
pada kegiatan baksos LAM (lembaga Adat Melayu) cabang Rokan Hulu ranting
Rambah tahun 2006 dan efek dari membaca berbagai status romantis dari dosen
saya Ibu Roziah., M.Pd kepada suamni beliau. Sehingga menuntut hati saya harus
memebrikan persoalan ini lewat media sosial
5. pertanyaan ini telah saya sajikan dalam beberapa forum
diskusi
a. Taklim Ruhayyah cabang Johor Jl. Tun
abdul Rasak
b. sahabat OsamaFM (Rokan Hulu) 2013
b. 36 anggota save palestina cabang Riau
c. anak-anak di “Rumah Baca Eva”
d. sahabat-sahabat sosial media (facebook)
6. cukup mendapat prokontra dari sahabat
sosial media dan sahab OsamaFM, dan mendapat respon positif dari sahabat Save
Palestina dan anak-anak di “Rumah Baca Eva” bahkan yang buat saya terkejut saat
salah seorang anak berkata “kak, kak Eva tak pernah mengajari kami untuk
memanggilnya bunda, sebab bagi kak Eva kami inikan adik-adiknya, bukan
anak-anaknya”. Jadi cukup valid bagi
saya jika saya katakan bahwa anak saja paham, kenapa kita tidak.
7. jika hendak memanggil suami di depan
anak, dengan niat ingin mengajarkan anak, alangkah sebagiknya digunakan
kata-kata “ayah si fulan” atau “abu ulul” seperti para sahabat ..begitupun
kepada suami ketika hendak memanggil istri di depan anak “ummu fulan” atau “ummu
ulul”
8. Hamidi (2012:25) dalam bukunya “Jagad
Melayu Dalam Lintasan Budaya Di Riau” menyatakan” setelah orang melayu itu
mendapatkan anak yang pertama, biasanya berubah pulalah panggilan suami istri. Semula
pihak istri memanggil suami dengan kata abang dan pihak istri dipanggil dengan
kata adi atau adinda. Tapi setelah mereka punya anak, maka istri emmanggil
suaminya dengan kata “bapak anak” malah sering dipakai anaknya itu dalam
panggilan. Jika anaknya yang pertama itu bernama mukhtar misalnya, maka
dipanggilah suaminya dengan pak utar sedangkan istrinya dnegan mak utar.”
9. Hamidi(2012:12) dalam bukunya “Jagad
Melayu Dalam Lintasan Budaya Di Riau” dalam bab pandangan terhadap bahasa
menyatakan “pandangan bahsa oleh orang Melayu sebagai pancaran budi pekerti. Gambaran
batin hendaknya terlukis juga dalam penampilan bahasa. Karena itulah raja Ali
Haji sanpai menyusun ikat gurindam “jika mahu tahu orang yang berbangsa,lihat
pada budi bahasa”. Jika lahir dan batin tidak senada, maka itulah orang yang
munafik, yang disindir dengan pepatah, lain dimulut lain dihati. Pandangan yang
menempatkan budi bahasa sejajar dengan budi pekerti menyebabkan orang melayu
memelihara bahsa sedemikian rupa. Kekacauan bahasa akan dicemaskan merusakkan
budi pekerti yang pada muaranya akan
merendahkan martabat umat. Inlah kenapa ulama dan pengarang Riau telah berupaya
begitu rupa membina dan memelihara bahasa Melayu hingga menjadi bahasa Melayu
tinggi bukan bahasa melayu pasar yang
digunakan sesuka hati hingga pada akhirnya bahsa Melayu Riaulah yang dijadikan
bahsa Indonesia”
SARAN : panggillah istri dengan
(istriku, bidadariku,dinda, adik, adek, pangeran, suamiku, kakak,abang, kanda
dan sebagainya).
Pada akhirnya aku katakan Tersenyumlah
sang ayah dan bunda :)