Sabtu, 05 April 2014

Ujarkan dalam Hati lalu Tindakkan dengan Perbuatan Nyata



Dulu ada seorang guru yang bernama Wirda Hayati. beliau yang mengajarkanku tetang seni peran. beliau yang membimbingku selama aku menduduki bangku Aliyah.
ada satu pesan yang selalu aku ingat sampai detik ini.

"la, kalau kamu betul-betul inginkan sesuatu, simpan hajat tu dalam hati. Sambil tu kamu harus berusaha. InsHaAllah satu hari nanti akan diinginkan juga.. " 

sampai sekarang aku  berpegang dengan kata-kata itu
aku begitu paham
simpan hajat di dalam hati bukanlah untuk diperam jadi pekasam
tapi hajat tu akan menjadi do'a
menjadi sumberinspirasiku
menjadi menjadi penyemangatku dan membuatku selalu kuat untuk emnajalni hidup

sepanjang 20 tahun aku hidup
sudah banyak hajat yang aku simpan dalam hati
ada yang untuk jangka masa pendek
ada yang jangka masa panjang
ada yang sudah pun dikabulkan. Alhamdulillah..
dan ada juga yang dikecewakan..
tapi bagiku itu adalah pembelajaran.

1.beli gitar(2009)
2. beli buku dongeng keluaran terbaru Bung Smash (2005)
3. pergi ke siak
4. pergi ke medan
5. di tonton saat mengikuti lomba fhasion show "aku anak shaleh"
6. beli rumah sendiri
7. buat usaha sendiri


banyak lagi sebenarnya
tapi itulah antara yang aku masih ingat
sebab apa yang aku lakukan untuk mendapatkan hal-hal itu snagat besar sehingga membuatkan aku lebih menghargai pencapaian itu

aku masih ingat
hanya teringin beli gitar yang harganya120.000
aku sanggup ikat perut tak makan sebab mau menyimpan duit
beli pun diam-diam tanpa pengetahuan ibu
sebab hari-hari aku capek dimarahi karena kenakalanku.

semuanya berjalan lancar..
aku semakin kuat berpegang dengan kata-kata itu
asalkan ada usaha, perkara yang dihajati mesti akan diperoleh.
satu hari,
Allah akhirnya  menunjukka kepadaku
BUKAN semua yang akuinginkan
aku akan dapat bila Allah kata tidak, tentu Tidak.

Aku masih ingat, siang itu aku tengah gelisah menunggu telfon dari pihak UPI atas surat lampiran akademikku sebagai mahasiswa undangan.

"hasil kelas X-XII baik, aku juga secara akademik dan online sudah lulus" pastilah aku jebol.
bisik hatiku penuh keyakinan


dum..dum..dum
tiba-tiba hp hitam ditanganku mengejutkanku.
"maaf, TIKI mengembalikan surat-surat kamu, karena kesalahan pengiriman"

ooohhhhhh....ubun-ubun terasa tiba-tiba panas
Hati hancur luluh Tuhan saja yang tahu
memang terasa gelap la dunia
rasanya seoerti mati pun ada haha.....
over pula. 

tapi itu la ceritanya
kejadian tu betul-betul memberikan pengaruh yang besar dalam hidup.
pada akhirnya aku sadar bahwa terkadang apa yang kita sukai, Allah tak sukai begitu pula sebaliknya.

sedikit demi sedikit..
aku mendapat pembelajaran dari  kegagalanku
masuknya aku ke Universitas Islam Riau mempunyai pengaruh yang besar pembentuk kepribadianku, hingga akhirnya aku sadar Allah tidak ingin jauhkan aku dari ibu.
andai masa itu aku jebol di UPI mungkin ibu akan selalu sendirian. aku juga tidak bisa membuat usahaku. alhamdulillah saat ini lancar sudah usahaku.
masih ada 1 tahun lagi untuk meneruskan perjuangan ini
kalau ada rezeki,inshaAllah aku akan lanjutkan pendidikan S2 ku ditempat yang pernah aku impikan.

seperti kakak-kakak aku yang lain.
merasa pengalaman di tempat asing
jauh dari pangkuan keluarga
mandiri.

bila bukan sekarang, mungkin besok atau lusa
InsyaAllah.



Rabu, 02 April 2014

Fenomena semantik

Teringat masa ayah mengadakan acara syukuran suku Melayu tepatnya pada tahun 2006 masa itu. Ayah sempat mengecam puak-puak melayu terutama sekali kepada anak-anaknya sendiri  yang telah menikah.
Fenomena pertama: yang terjadi belakangan ini yaitu maraknya penggantian nama belakang            (ayah)  dengan nama suami, padahal jelas-jelas suami dia bukan mukhrimnya, lalu dia mengganti nama mukhrim(ayah) dengan nama suaminya secara tidak langsung, suaminya adalah ayahnya...
Misal : Zunnurul Laila Ahmad lalu ketika menikah diganti menjadi Zunnurul Laila Fulan...

Fenomena kedua : maraknya orang yang telah memiliki istri/suami  memanggil sebutan masing-masing layaknya memanggil ayah/ibu mereka...
Misal : suami memanggil istri dengan umi dan istri memanggil suami dengan abi...

Secara tidak langsung mereka memanggil orang tuanya, dalam artian  suami/istri masing-masing adalah ayah/ibu mereka....padahal nabi tidak pernah memanggil istri-istrinya demikian...alangkah sebaiknya istri dipanggil dinda, adik, adek, dan sebagainya...begitupun kepda suami dipanggil abang, kakak, Aa... Dan sebagainya.
Apakah kita tidak pernah berfikir kalau kita memanggil suami dengan abi artinya kita memanggil ayah dan begitu pula sebaliknya ? Cukup dijawab dalam hati dan diubah dengan tindakan nyata...mari berbenah, kalau hal kecil seperti ini saja kita pertahankan bagaimana dengan hal yang besar ? berbeda halnya ketika seorang istri/suami memanggil pasangan masing-masing di depan anak mereka yang masih umur produktif, yang harus dibiasakan dengan panggilan-panggilan tersebut karena anak diumur produktif umumnya akan mengikuti atau meniru orang-orang di sekelilingnya...lalu ketika anak sudah paham makna (semantik) kata,kalimat ataupun wacana...saya kira harus dirubah ya kebiasaan sebelumnya.

Lalu ada pendapat yang menyatakan :
1.       lah panggilan tersebut juga karena sudah sah ikatan pernikahannya.,
2.       karena kalo saling memanggil dengan kata abi-umi kelihatannya lebih romantis daripada harus memanggil dengan sebutan nama masing2.
3.       hm itu hanya bahasa saja, ga usah terlalu diributin yg penting perannya
4.       dengan memanggil ummi dan abi juga kan tidak merubah status jadi ayah dan ibu kan? jadi klo menurut ana sah2 aja selama itu baik dan disukai pasangan kita kenapa tidak? masih banyak hal besar yang harus difikirkan kok dari in
5.       hanya sementara untuk membeiasakan anak dengan panggilan itu

saya menanggapi beberapa pendapat :
Tanggapan : 1. Memang sah ikatan pernikahannya  hanya saja, makna dari panggilan itu yang saya kaji, kata ABI itukan bermkna AYAH...lalu apakah kita, misalnya saya , memanggil suami saya ayah,sedangkan dia suami saya,bukan ayah saya..atau misal suami saya memanggil saya dengan sebutan ibu, sayakan istri dia bukan ibu dia...apakah tidak ada rasa canggung ketika panggilan itu disematkan ? Sebab ketika anak saya misalnya memanggil ayahnya dengan ayah, lalu saya pun memanggil suami saya dangan ayah, berarti posisi saya sama denga anak saya sebagai "anak".. mungkin sahabat tidak merasakan begitu ekstrimnya makna karena sahabat memanggil dengan sebutan abi dan umi, lalu coba diganti dengan panggilan ayah dan ibu..pasti akan terasa efek yang ektrim di saat anda memanggil pasangan anda.

2. saya tidak pernah menyarankan untuk memanggil  pasangan dengan nama masing-masing, namun yang saya sarankan panggillah dengan dengan adik, adek, dinda...atau panggil istri dengan jannah, bidadariku  atau panggil suami dengan saiful qalbi, pangeranku...menurut saya itu lebih romantis ...seperti Nabi Muhammad yang memanggil Aisyah dengan Humairah...

3. itu memang nyalah bahasa saja, lewat bahasalah kita tahu budi pekerti...lewat bahsa kejiwaan orang tergambarkan, lewat bahasa kita tahu karakter orang.


4. memang tidak merubah status kita sebagai ayah dan ibu, namun tidakkah kita pernah berfikir bahwa secara tidak langsung kita telah salah menggunakan bahasa ? bagi saya yang bergelut dalam bidang kajian bahasa ini adalah masalah yang besar yang tengah dihadapi bangsa. Lewat bahasalah Umar bin khatab mampu luluh, lewat lantunan bahasalah bung Karno dikenal dunia. Lewat bahasa pulalah Ederogan disegani lawan dan disahabati kawan bukan ?

 5. di sinilah peran orang tua sangat dipentingkan, apakah kita sebgai orang tua tidak mampu memberikan pemahaman kepada anak ? apakaah kita tidak bisa memberikan pengajaran kepada anak tentang panggilan-panggilan. Anak akan paham ketika kita sebagai orang tua mengajarinya. Di sinilah nantilah terlihat peran orang tua itu, apakah dia benar-benar telah menjadi ayah ? atau benar-benar menjadi ibu.

Dari berbagai jawabn yang saya dapatkan...saya kembali memperoleh pertanyaan yang baru...
para mitra tutur saya menjawab..
"kan itu hnya pnggiln, rsanya lebih romantis...trlpas dripda mknanya"... (ketika istri/suami memanggil psngn mrka dg pnggiln abi/umi, mama/papa, ayah/ibu)
Pertanyaannya : lalu bagaimana jika anak anda memanggil anda kakak/dedek ? Mereka baranggap ini kan hanya panggilan yang menurut sang anak lebih terhormat, terlepas dari maknanya seperti yang anda jawab pada pertanyaan sebelumnya bahwasannya anda berkata ini hanya panggilan terlepas dari makna.
Nah lo ? ^_^

Cacatan : 1. Abi berasal dari kata abu, abu'u dan aba' yang berarti (bapak/ayah) 

    2. Umi asal katanya ummu dan ummahata yang berarti (ibu, bunda)

  3. kata muhrim dn mahram Depdiknas (KBBI:852) menyatakan  orang yang termasuk         sanak saudara dekat karena keturunan,susuan, sehingga tidak boleh menikah diantaranya. (kedua kata sama)

  4. Pertanyaan ini berawal dari pidato ayahnda (alm) H. Ahmad Nasri bin Abdul Wahab  pada kegiatan baksos LAM (lembaga Adat Melayu) cabang Rokan Hulu ranting Rambah tahun 2006 dan efek dari membaca berbagai status romantis dari dosen saya Ibu Roziah., M.Pd kepada suamni beliau. Sehingga menuntut hati saya harus memebrikan persoalan ini lewat media sosial

5. pertanyaan ini telah saya sajikan dalam beberapa forum diskusi
a. Taklim Ruhayyah cabang Johor Jl. Tun abdul Rasak
b. sahabat OsamaFM (Rokan Hulu) 2013
b. 36 anggota save palestina cabang Riau
c. anak-anak di “Rumah Baca Eva”
d. sahabat-sahabat sosial media (facebook)

6. cukup mendapat prokontra dari sahabat sosial media dan sahab OsamaFM, dan mendapat respon positif dari sahabat Save Palestina dan anak-anak di “Rumah Baca Eva” bahkan yang buat saya terkejut saat salah seorang anak berkata “kak, kak Eva tak pernah mengajari kami untuk memanggilnya bunda, sebab bagi kak Eva kami inikan adik-adiknya, bukan anak-anaknya”.  Jadi cukup valid bagi saya jika saya katakan bahwa anak saja paham, kenapa kita tidak. 

7. jika hendak memanggil suami di depan anak, dengan niat ingin mengajarkan anak, alangkah sebagiknya digunakan kata-kata “ayah si fulan” atau “abu ulul” seperti para sahabat ..begitupun kepada suami ketika hendak memanggil istri di depan anak “ummu fulan” atau “ummu ulul”

8. Hamidi (2012:25) dalam bukunya “Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya Di Riau” menyatakan” setelah orang melayu itu mendapatkan anak yang pertama, biasanya berubah pulalah panggilan suami istri. Semula pihak istri memanggil suami dengan kata abang dan pihak istri dipanggil dengan kata adi atau adinda. Tapi setelah mereka punya anak, maka istri emmanggil suaminya dengan kata “bapak anak” malah sering dipakai anaknya itu dalam panggilan. Jika anaknya yang pertama itu bernama mukhtar misalnya, maka dipanggilah suaminya dengan pak utar sedangkan istrinya dnegan mak utar.”

9. Hamidi(2012:12) dalam bukunya “Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya Di Riau” dalam bab pandangan terhadap bahasa menyatakan “pandangan bahsa oleh orang Melayu sebagai pancaran budi pekerti. Gambaran batin hendaknya terlukis juga dalam penampilan bahasa. Karena itulah raja Ali Haji sanpai menyusun ikat gurindam “jika mahu tahu orang yang berbangsa,lihat pada budi bahasa”. Jika lahir dan batin tidak senada, maka itulah orang yang munafik, yang disindir dengan pepatah, lain dimulut lain dihati. Pandangan yang menempatkan budi bahasa sejajar dengan budi pekerti menyebabkan orang melayu memelihara bahsa sedemikian rupa. Kekacauan bahasa akan dicemaskan merusakkan budi pekerti  yang pada muaranya akan merendahkan martabat umat. Inlah kenapa ulama dan pengarang Riau telah berupaya begitu rupa membina dan memelihara bahasa Melayu hingga menjadi bahasa Melayu tinggi bukan bahasa melayu  pasar yang digunakan sesuka hati hingga pada akhirnya bahsa Melayu Riaulah yang dijadikan bahsa Indonesia”

SARAN : panggillah istri dengan (istriku, bidadariku,dinda, adik, adek, pangeran, suamiku, kakak,abang, kanda dan sebagainya).

Pada akhirnya aku katakan Tersenyumlah sang ayah dan bunda :)