Senin, 19 Mei 2014

Kemahaan Allah dan Shalawat Cinta

Kita banyak mendapati kaum muslimin yang menuliskan setelah menyebut nama Allah dengan penulisan “s.w.t.” (yang dimaksudkan untuk subhaanahu wa ta’ala). Lantas bagaimana tanggapan ulamaa’ akan hal ini?

  Imam an Nawawiy rahimahullah berkata: “Dianjurkan bagi penulis hadits apabila melalui penyebutan (nama) Allah ‘azza wa jalla agar menuliskan kata-kata ‘azza wa jalla (yang maha perkasa lagi mulia) atau ta’ala (yang maha tinggi), atau subhanahu wa ta’ala (yang maha suci lagi tinggi), atau tabaraka wa ta’ala (penuh berkah dan maha tinggi), atau jalla dzikruhu (yang mulia sebutannya), atau tabarakasmuhu (pemilik nama yang penuh berkah), atau jallat ‘azhamatuhu (maha mulia kebesarannya), atau yang serupa dengannya. Hendaknya semua ucapan tersebut ditulis, meskipun dalam naskah aslinya tidak tertulis, karena hal ini bukan termasuk periwayatan, namun sekedar doa. Orang yang membaca (hadits) juga hendaknya membaca setiap ucapan yang telah sebutkan tadi, meskipun di dalam teks yang dibacanya doa-doa tersebut tidak disebutkan Janganlah dia merasa bosan mengulang- ulanginya. Barangsiapa yang lalai melakukannya niscaya akan terhalang meraih kebaikan yang amat besar dan kehilangan keutamaan yang sangat agung.” (Muqadimah Syarh Muslim, 1/204).

Dikisahkan oleh As-Suyuthi rahimahullah di dalam Tadribu Ar-Rawi bahwa orang yang pertama kali menyingkatkan (shalawat nabi menjadi) shad- lam-’ain-mim dihukum dengan dipotong tangannya [!!] (Dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 249) Maka bagaimana lagi jika dizaman tersebut didapati orang yang menyingkat nama Allah? Atau menyingkat pujian terhadapNya?! Adab Menulis Shalawat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّۚ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ
ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
 
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” (Qs. Al-Ahzaab: 56)


Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan beliau dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau. Yang dimaksud shalawat Allah adalah puji-pujian- Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat adalah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat beliau adalah do’a dan mengagungkan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat penjelasan Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam). 

    Disunnahkan sebagian ulama mewajibkannya mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan: “shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Lihat penjelasan al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

ﺍﻟﺒﺨﻴﻞ ﻣﻦ ﺫﻛﺮﺕ ﻋﻨﺪﻩ ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻞ ﻋﻠﻲ
“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang
yang (apabila) namaku disebut disisinya,
kemudian ia tidak bershalawat kepadaku
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no.
1736, dengan sanad shahih)

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau. [-tambahan abu zuhriy- atau jika berkeinginan, tidak menuliskannya sama sekali dan mengucapkannya secara lisan, sebagaimana yang dilakukan imam Ahmad ketika beliau menulis Musnad-nya, yang beliau bershalawat dengan lisan beliau. -penjelasan ini didapat dari kajian al-ustadz abdulhakim bin amir abdat-] Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga mengatakan dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan lisan dan tulisan. Ketahuilah, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan bagian dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita berbagai ilmu tentang dien ini? Apakah kita ingin menjadi hamba-hamba-Nya yang lalai dari kesempurnaan dalam beribadah? Wallahu Ta’ala a’lam bish showwab. dikutip dari: http://muslimah.or.id/fikih/adab-salam-dan-shalawat.html.
 
 Beberapa perubahan tanpa merubah makna, dan dengan penambahan lafazh Arab dalam ayat dan hadits] Perkataan para ‘ulama mengenai penyingkatan shalawat An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dianjurkan bagi penulis hadits… hendaknya menuliskan kata-kata shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna ketika menyebutkan nama Nabi (Muhammad), tidak dengan menyingkatnya, dan tidak pula mencukupkan diri pada salah satunya (salam atau shalawat saja).
 
semoga kita menjadi pengikut dan ummat yang selalu mengantarkan do'a kesejahteraan untuk Baginda Nabi Muhammad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar